No Remain menantang maskulinitas dan machoisme (Dok. No Remain) SETELAH menandai resurjensi mereka dengan meluncurkan EP pada November tahu...

No Remain Menuding Tepat ke Moncong Status Quo

No Remain menantang maskulinitas dan machoisme (Dok. No Remain)

SETELAH menandai resurjensi mereka dengan meluncurkan EP pada November tahun lalu, kali ini No Remain kembali ke permukaan skena dengan ambisi katarsisme yang meluap-luap. Band satu ini ingin segera berada di puncak ketegangan, lalu meledakkan amarah hingga sirna tak bersisa.


Kebangkitas dari Hiatus No Remain ditandai dengan EP berjudul Reminiscene, berkaliber 13 menit dengan total lima lagu yakni, Intro, Fraud, You vs You, Genocide, dan Still Remain. No Remain mendeskripsikan album mini ini sebagai pengalaman di atas permadani sonik yang dijahit dari luka, penyesalan dan kemenangan.


"EP ini menjadi sebuah epic comeback kami setelah hiatus cukup lama," kata Lancaster, sang basis No Remain dalam wawancaranya kepada hardcorebergerak.id.


Tak berhenti sampai di situ, No Remain kembali menegaskan eksistensinya dengan sebuah single berjudul Cognitive Dissonance Prevails yang dirilis pada Januari 2025. Single ini menandai peralihan karakter vokalis dari yang lama ke baru.


Gagang mikrofon saat ini dipercayakan kepada Latisha. Sementara itu, Adit Blak dan Anda menjadi dua sayap penjaga distorsi, Lancaster pembetot bas, dan terakhir, Tandu penggebuk dram.


No Remain yanh berbasis di Pamulang, Tangerang Selatan mulai dibentuk sejak 2009. Kuintet hardcore satu ini sudah lima kali rombak-rambik formasi.


Band ini mengusung nilai-nilai perlawanan yang cukup kuat di dalam lirik lagu mereka. Mulai dari kritik terhadap sistem hingga rasa muak atas fenomena di mana masyarakat menjadi hakim atas orang lain.


Hal ini dapat didengar melalui single Cognitive Dissonance Prevails. Lirik lagu ini menggambarkan bagaimana kaum hipokrit bahkan jika mungkin demagog, bekerja —di mana seseorang yang paling munafik malah menjadi orang yang paling vokal.


It’s always the ones with dirty hands, pointing finger/And they multiply, with every lie, they justify


"Kami muak dengan mereka yang sok suci, yang paling keras bersuara tapi paling kosong hatinya. Dan yang jelas, No Remain tidak berdiri di pihak pelaku genosida. Kami menolak kekerasan sistemik, pembantaian massal, dan penghapusan identitas atas nama kekuasaan. Diam adalah bagian dari kejahatan, dan kami menolak diam!" cetus Lancaster.


Sikap ideologis No Remain bahkan dapat dilihat dari keputusan Lancaster dan kawan-kawan yang sengaja menaruh Latisha di garis depan. Ini bisa diintepretasikan sebagai manifesto perlawanan terhadap kooptasi ruang oleh maskulinitas dan machoisme.


"Vokalis perempuan bukan untuk pemanis, bukan gimik, tetapi karena ia punya suara yang ingin disuarakan, amarah yang sah untuk disalurkan, dan cerita yang layak didengar. Di ruang yang sering terlalu maskulin dan penuh stigma, kehadirannya adalah bentuk perlawanan itu sendiri," tegas Lancaster.[]

0 Komentar: