Ilustrasi  *Catatan kuratorial ini ditulis untuk ekshibisi yang digelar oleh KontraS Aceh 2024 ADA s atu kalimat yang membuat saya selalu me...

Catatan Kuratorial: Sebuah Ziarah Musik untuk Memutus Legasi Kekerasan Masa Lalu

Ilustrasi 

*Catatan kuratorial ini ditulis untuk ekshibisi yang digelar oleh KontraS Aceh 2024

ADA satu kalimat yang membuat saya selalu menafakuri kembali, atau merenungi dengan sungguh-sungguh apa arti penting dari sejarah. Kalimat tersebut berasal dari seorang filsuf Spanyol bernama George Santayana. Kalimat ini sering dikutip dalam pelbagai variasi akan tetapi tetap berada pada substansi yang sama. Kalimat tersebut berbunyi “Those who cannot remember the past are condemned to repeat it.” Kalimat yang lebih kurang sama sebenarnya juga pernah dilontarkan oleh negarawan Irlandia Edmund Burke dan Winston Churchill. 


Ya, barang siapa yang tidak dapat mengingat sejarah, akan dikutuk untuk mengulangi sejarah tersebut. Sebagai sebuah aforisme atau ungkapan yang berisi nasihat —pengajaran, kalimat ini bagi saya terdengar amat kuat. Intimidatif. Ia bahkan seperti sebuah tamparan yang tidak memberi peluang sedikit pun untuk menghindar karena di dalamnya terdapat sebuah kata kunci yang menjadi pengikat kalimat ini sebagai sebuah pernyataan 


Lantas, bagaimana hubungan aforisme ini dengan musik? Saya suka mengatakan bahwa musik merupakan berumbung di mana realitas tumpah ruah. Sebagai entitas seni—mengikuti Theodore Adorno seperti yang ditulis Karina Andjani dalam bukunya Musik dan Masyarakat: Filsafat Musik Theodore Adorno (hlm. 26, 2022) —ia secara intrinsik melekat dan jadi cermin masyarakat. Melalui retakan yang ada pada cermin tersebutlah suara-suara seperti ekspresi kesendirian, penderitaan, serta jeritan dehumanisasi dari penindasan terefleksikan.


Semasa Aceh dikoyak-moyak oleh badai operasi militer, suara-suara seperti yang disebutkan barusan dilampiaskan ke dalam lirik lagu oleh sejumlah seniman. Dapat dikatakan bahwa lagu-lagu yang tercipta pada waktu itu tak lagi bernilai sebagai produk studio rekaman semata, tetapi menjadi ekspresi kolektif yang terikat oleh ruang dan waktu dari banyak kejadian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berlangsung di ujung utara pulau Sumatera.


Lagu-lagu yang diciptakan oleh musisi lokal kala itu menjadi disonansi, tak ubahnya setumpuk nyanyian yang terdengar sumbang bagi status quo. Status quo di sini tentu saja kepentingan militer untuk memastikan agar semua informasi mengenai pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh tak menjadi pengetahuan populis. Ia harus diredam. Seperti membenamkan derum amarah orang-orang terhadap kejahatan kemanusiaan di Aceh. Ke dasar bumi. Dari sini, pembredelan terhadap sejumlah lagu pun dimulai. 


2003, beberapa seniman serta produser dipanggil oleh otoritas militer untuk mempertanggungjawabkan sejumlah lagu yang dinilai menjadi amplifikator bagi propaganda yang menyerempet kepentingan militer. Walhasil, sejumlah lagu pun ditarik dari pasaran. Operasi pemberangusan bahkan dilakukan jauh lebih serius dengan terjadinya razia ke toko-toko kaset di sejumlah wilayah. Tak ayal, dengan situasi ini, para musisi pun merayap. Kendati di pelojok sana, dalam sayup, lagu-lagu tersebut masih terus berkumandang, menuding moncong otoritas militer dalam senyap.


Dua dekade berlalu, KontraS Aceh berusaha “membangunkan” kembali lagu-lagu tersebut dari tidur panjang melalui sebuah ekshibisi bertajuk “Lorong Ingatan”. Di sinilah, pada hari ini, lagu-lagu dari masa lalu tersebut dialihtampilkan dari audio ke tekstual: lirik. Sebagai sebuah proyek resurjensi, ekshibisi ini dilakukan bukan dengan semangat ‘kotak pandora’, tetapi diniatkan untuk menjaga agar semua pengetahuan tentang kekerasan yang terjadi di Serambi Makkah terawat sebagai bagian dari memorialisasi. 


Ekshibisi ini juga merupakan upaya untuk menempatkan lagu-lagu yang pernah mengisi lini masa konflik di Aceh pada makam yang berbeda. Sepuluh lagu kemudian dipilih demi kepentingan penyesuaian konteks “angka sepuluh” yang notabene diambil dari tanggal peringatan hari HAM (10 Desember), hari yang sama di mana ekshibisi digelar. Di samping juga disebabkan oleh keterbatasan-keterbatasan seperti sulitnya menjangkau para pencipta lagu demi menghindari masalah hak cipta kudian hari. Tantangan lain dari eksbinisi ini ialah persoalan metadata. Keterangan waktu menjadi kekurangan dan sejumlah penjelasan lain seperti tahun perilisan jadi persoalan utama. Karena itu, ekshibisi ini berusaha bermain hanya pada konteks pencipta lagu saja. Namun, setidak-tidaknya, ekshibisi ini bisa memantik riset yang jauh lebih komprehensif nantinya. 



Sakralitas Lagu Lokal: Dari Nanggroe Meredeka hingga Yatim Lam Kandong


Sepuluh lagu yang ditampilkan dalam ekshibisi ini merujuk pada pelbagai peristiwa kekerasan yang berlangsung di Aceh sepanjang penerapan Daerah Operasi Militer (1989-1998) hingga Darurat Militer (2003). Sebagai pembuka, perkenalkan Yusbi Yusuf dengan lagunya berjudul Nanggroe Meredeka yang menggambarkan Aceh sebagai sebuah wilayah nihil hukum tempat di mana kekerasan merajalela, menempatkan rakyat sipil sebagai korban. Lagu ini ikut menyinggung tentang peristiwa kekerasan oleh pasukan Linud 100/PS Sumatera Utara di Idi Cut yang dikenal juga sebagai tragedi Arakundo, menewaskan 28 orang termasuk di antaranya anak-anak pada 3 Februari 1999. Serta Alue Nireh yang menewaskan lima orang oleh Pasukan Penindak Rusuh Massa (PPRM) juga pada 1999. Peristiwa Arakundo sendiri secara khusus diulas kembali oleh Yusbi Yusuf dalam lagu lainnya yang mengambil judul sama yakni Arakundoe.


Peristiwa kekerasan yang terjadi di Aceh juga dapat dilihat melalui lagu berjudul Peristiwa Simpang KKA yang diciptakan dan dinyanyikan oleh Abu Bakar Ar yang berduet dengan Armawati Ar. Mengikuti judulnya, lagu ini bercerita tentang peristiwa yang terjadi di Aceh Utara pada 3 Mei 1999 ketika pasukan Arhanud 001 dan Batalyon 113 memberondong warga yang sedang menggelar aksi protes di Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA) dengan peluru secara membabi buta. Sedikitnya 21 orang dinyatakan meninggal dunia, kurang lebih 146 orang mengalami luka-luka, dalam tragedi berdarah tersebut. 


Peristiwa Arakundo juga disebut di dalamnya. Juga peristiwa Kandang pada 3 Januari 1999. Peristiwa Kandang, Lhokseumawe terjadi dalam operasi penyisiran yang dilakukan oleh aparat keamanan di Kandang dan Pusong yang merenggut nyawa beberapa warga desa. Peristiwa Kandang terjadi kurang dari satu pekan sebelum ledakan kekerasan lainnya yang diakibatkan oleh brutalitas tentara menyusul di Lhokseumawe. Yakni Peristiwa Gedung KNPI pada 9 Januari 1999 yang menyebabkan 5 orang meninggal dunia serta puluhan lain luka-luka.


Lagu lainnya yang merupakan ciptaan Abu Bakar Ar, tetapi dinyanyikan oleh duet antara penyanyi cilik Ari Rama dengan Nurhayati AZ, berjudul Musibah Beutong, mengangkat peristiwa ketika beberapa pasukan elite TNI mengepung lalu mulai membantai orang-orang di sebuah dayah tradisional di lembah Beutong Ateuh Banggalang pada 23 Juli 1999. Penyerbuan ini memakan korban yakni sang pemimpin sang dayah tersebut, Tengku Bantaqiah, juga anak beserta 57 santrinya. Lagu ini pun sempat menyebut Cot Murong, sebuah desa yang berkaitan dengan peristiwa Simpang KKA.


Haro-Hara yang dinyanyikan oleh Cut Aja Riska dalam album Nyawöung menjadi ikhtisar dari banyak peristiwa kekerasan yang terjadi di Aceh. Mulai dari Arakundo, Simpang KKA, Beutong, hingga secara gamblang menyebut Rumoh Geudong, sebuah rumah besar milik warga yang dialihgunakan oleh tentara sebagai kamp konsentrasi atau rumah jagal. Rumah yang berlokasi di Pidie ini menjadi momok, di mana segala kengerian yang dapat dibayangkan oleh manusia berlangsung di sana selama beberapa tahun.


Rumoh Geudong secara misterius dibakar oleh massa pada 1998, menghanguskan sejumlah bukti kekerasan bersamanya. Bangunan tersebut hanya tersisa reruntuhan dan tembok-tembok bisu yang merupakan saksi dari kekejaman militer Indonesia sampai akhirnya diratakan dengan tanah demi menyambut kedatangan Presiden Jokowi dalam rangka kick off program penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat masa lalu pada Juni 2023. 


Kini Rumoh Geudong dikubur dalam skema Memorial Living Park, sebuah upaya sengaja yang dipaksakan untuk menghapus ingatan dan situs kekerasan masa lalu. Dapat dibayangkan bagaimana situs itu kelak dijadikan sebagai tempat bermain anak-anak sementara fondasinya merupakan bekas kuburan massal, di mana tulang-belulang orang-orang yang pernah disekap, disiksa, dan dihabisi selama operasi militer di Aceh berada.


Selanjutnya, dalam Peulara Damèe: Merawat Perdamaian (hlm. 35, 2023) disebut bahwa intensitas kekerasan, teror, pembakaran, penculikan, pembunuhan dan bentuk kejahatan lainnya yang kian hari kian meningkat telah menyebabkan lahirnya gelombang pengungsian besar-besaran terutama di wilayah-wilayah perdamaian. Sekitar 534.335 (lima ratus tiga puluh empat ribu tiga ratus tiga puluh lima) jiwa atau 132.621 KK terpaksa meninggalkan desa mereka saat eskalasi kekerasan di Aceh meningkat. Situasi ini ditangkap oleh Nyawöung ke dalam Untong Kamoe Nyoe. 


Sementara itu, multidimensi kekerasan di Aceh semasa DOM hingga Darurat Sipil berjalinkelindan dalam empat lagu yang tersisa. Dari lagu Korban Fitnah yang diciptakan sekaligus dinyanyikan oleh Syeh Youldy Prima, tergambarkan bagaimana penangkapan dan penahanan sewenang-wenang terjadi. Total korban untuk kasus semacam ini mencapai 5.179 orang (391 perempuan, 4.788 laki-laki) terbentang sejak 1989-2005 (Peulara Damèe: Merawat Perdamaian: hlm. 71, 2023)


Dalam video klip lagunya tersebut, Syeh Youldy Prima berperan sebagai seorang suami sekaligus calon ayah yang ditangkap karena fitnah dan saban hari berdoa agar dapat bertemu kembali dengan keluarga sekalipun dalam kondisi terburuk karena beratnya siksaan yang harus dipikulnya selama ditahan. Sebagai jawaban dari lagu ini, Syeh Youldy Prima menciptakan sebuah lagu lain berjudul Yatim Lam Kandong, tetapi dinyanyikan oleh seorang penyanyi perempuan bernama Nur Hadizah. 


Dari Yatim Lam Kandong, terungkap bahwa pria yang sebelumnya ditahan di dalam lagu Korban Fitnah tak akan pernah bisa kembali pulang ke rumah. Sebuah kenyataan yang amat masygul. Lagu ini secara gamblang menyebut bahwa lelaki tersebut dibawa paksa oleh tentara sewaktu usia kandungan istrinya menginjak tiga bulan. Kasus-kasus seperti ini jamak terjadi di Aceh pada masa-masa itu. 


Lagu Ie Mata Janda ciptaan M. Yacob Tailah yang dinyanyikan oleh Nur Hasanah Tala serta Aneuk Yatim ciptaan Medya Husen yang digubah oleh Rafli erat kaitannya dengan kasus-kasus kekerasan seperti penghilangan orang ketika rata-rata dari korban tidak pernah diketahui informasi terkait kondisi dan keberadaan mereka. Dalam tindakan penghilangan orang secara paksa, sepanjang kejadiannya, tercatat dari 371, hanya 1 korban yang berhasil ditemukan. Sebanyak 98 persen korbannya laki-laki (Peulara Damèe: Merawat Perdamaian: hlm. 74, 2023)


Hal yang perlu digarisbawahi dari tiga lagu terakhir yakni adanya gambaran bagaimana perempuan berperan vital dalam kehidupan sosial ekonomi sejak suami mereka dibawa pergi dan hilang ditelan kabut militerisasi. Di samping juga terselip kondisi lain yang kerap yang dialami oleh perempuan masa itu, yakni tak lain kekerasan seksual yang disinggung di dalam Ie Mata Janda


Kekerasan seksual yang menargetkan perempuan dalam situasi seperti yang pernah dirasakan Aceh adalah teror yang disengaja sebagai metode penundukan seksualitas perempuan selaku simbol penerus bangsa. Rahim perempuan pada dasarnya merupakan pusat dari reproduksi biologis, sosial, politik, dan bangsa. Hidup mati sebuah keluarga, kelompok, etnis dan bangsa tergantung dari proses reproduksi perempuan. Karena keyakinan itu, di dalam konflik perempuan menjadi target.


Lagu-lagu tersebut merupakan deskripsi personal yang cukup kuat dalam menggambarkan suasana batin para korban. Di dalamnya bahkan tersirat bagaimana para korban berusaha menampik kenyataan dengan cara bermain-main dalam realitas yang baru. Faktanya, hingga kini terdapat di antara korban konflik Aceh yang susah payah meyakini bahwa keluarganya masih hidup meski mereka berada di dunia antah-berantah. Ironisnya, negara berperan besar membiarkan para korban ini hidup di dalam realitas khayali ini.


Terakhir, besar harapan ekshibisi yang digelar KontraS Aceh ini akan menjadi jembatan dalam menjelajah waktu, dengan catatan tak hanya menempatkan sesi ekspedisi singkat ini sebagai jalan untuk menemukan artefak masa lalu belaka, tetapi juga sebuah upaya secara sadar yang dilakukan untuk merawat “ingatan”. Agar tak ada satu keping pun legasi kekerasan yang dapat diwariskan. Sebagaimana George Santayana dalam The Life of Reason: Reason in Common Sense, “barang siapa yang melupakan sejarah, maka dikutuk untuk mengulanginya”.



Sumber-sumber kepustakaan:


Andjani, Karina. 2022. Musik dan Masyarakat: Filsafat Musik Theodore Adorno. Serpong, Tangerang Selatan: Marjin Kiri.


Laporan Temuan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. 2023. Peulara Damèe: Merawat Perdamaian. Banda Aceh: KKR Aceh.


0 Komentar: