Foto personel Residiv oleh @ilhamtrialdii NAVA SHANDYA, adalah single yang dibangun dengan berfokus pada dimensi ambiens dan spektrum emosi ...

Foto personel Residiv oleh @ilhamtrialdii


NAVA SHANDYA, adalah single yang dibangun dengan berfokus pada dimensi ambiens dan spektrum emosi yang kuat. Ia meledak dari sebuah kuartet khusus bernama Residiv, yang diisi oleh @ilhamtrialdii pada vokal dan bas, @hartmchl dan @z4krn_ di formasi ritem dan melodi, selanjutnya @roberto.raphael.suharlim pada dram. 


Single ini disebut-sebut sebagai distilasi dari atmosfer single awal mereka yang berjudul Nubuat (Lamunan). Nubuat (Lamunan) sendiri merupakan sebuah eksplorasi kebebasan struktur musikal dengan durasi lebih dari 11 menit disertai eksperimen sonik yang variatif. 


Melalui Nava Sandhya, Residiv melakukan gebrakan dengan cara memancarkan vokal kedua dalam komposisi lagu mereka. Namun, strategi ini nyatanya bukan hanya sekadar sebagai pelengkap, tetapi menjadi gletser pembawa pesan emosional yang tanpa diragukan akan memperdalam narasi lagu. 


Nava Sandhya hadir dengan lapisan seperti kesepian, kebimbangan, serta pergulatan batin lainnya saat dihadapkan pada pilihan, khususnya dalam konteks relasi dengan seseorang. Lagu ini juga menyuarakan perasaan yang seringkali tak terucap, seperti keraguan dalam melihat seseorang secara utuh, serta dilema antara empati dan kecenderungan narsistik dalam hubungan antarmanusia. 


"Kami mencoba menggambarkan kondisi batin yang penuh ambiguitas, di mana harapan, ketakutan, dan kerinduan berbaur dalam satu ruang yang sama," begitu tulis mereka dalam rilis yang diterima Hardcore Bergerak. 


Meski ditopang oleh pilar shoegaze yang kentara, sesungguhnya Nava Sandhya bergerak fleksibel menuju skop vokal skramz dengan warna yang lebih ekspresif. Lagu ini sarat akan semangat yang melankolistis serta dipenuhi atmosfer yang padat sehingga tercipta sebuah lanskap suara yang sarat akan gema dengan intensitas emosi yang signifikan. 


"Kami sengaja memilih pendekatan ini untuk menghadirkan perasaan tenggelam dalam renungan yang dalam, seolah-olah pendengar diajak masuk ke dalam ruang batin yang penuh kabut," imbuh mereka. 


Nava Sandhya melampaui sebuah karya biasa. Ia lahir dari titik nadir keterasingan paling purba, yang diakibatkan kesepian dari ruang nircahaya. 


"Ini adalah lagu yang tidak hanya bicara tentang seseorang, tetapi juga tentang bagaimana kita melihat diri sendiri dalam hubungan yang rapuh, bagaimana kita membingkai harapan terhadap orang lain, dan bagaimana kita terkadang kehilangan arah dalam memilih," pungkas mereka. 


Dilarangberisik  MENCUAT dari ujung timur Kotamobagu, Dilarangberisik datang mengekspansi ruang. Mengembalikan kebisingan pada tempat yang s...

Dilarangberisik 


MENCUAT dari ujung timur Kotamobagu, Dilarangberisik datang mengekspansi ruang. Mengembalikan kebisingan pada tempat yang seharusnya. 


Band yang mengusung old hardcore ini bisa menjadi amplifikator perlawanan yang tak terbantahkan. Dua single Dilarangberisik diciptakan untuk menggambarkan pembungkaman serta upaya bangkit melawan.


Single pertama berjudul Silence. Liriknya menggambarkan kemarahan yang diakibatkan oleh pengekangan. 


"Pada single kedua Kami takkan Tunduk, kami mulai lugas tegas melawan segala bentuk penindasan, mulai dari kelaparan, perang yang tak ada henti-hentinya, perampasan hak, penindasan pada kaum yang termajinalkan dan segala ketidakadilan," jelas Buyung, vokalis Dilarangberisik kepada Hardcore Bergerak. 


Dipaksa tunduk kami tak takut/Dipaksa merunduk kita bukan pengecut


Lagu Kami takkan Tunduk juga didedikasikan untuk Palestina. Pada momen-momen live, Dilarangberisik menambahkan slogan perjuangan ,"Free Palestine" ke dalam lagu tersebut. 


Dilarangberisik dibentuk pada 2019. Selain Buyung, kuartet hardcore satu ini diisi oleh Coan sebagai gitaris, Adif basis, dan Ryan dramer. 


Nama Dilarangberisik merupakan satire. Atas kondisi ketika Buyung dan kawan-kawan yang berulang kali pindah studio latihan karena dianggap sebagai biang kebisingan oleh penduduk setempat.[]


Pandemic Rage digagas dalam masa-masa Covid-19 (Dok. Pandemic Rage)  KUARTET bernama Pandemic Rage ini adalah pelantang alias megafon. Lirik...

Pandemic Rage digagas dalam masa-masa Covid-19 (Dok. Pandemic Rage) 


KUARTET bernama Pandemic Rage ini adalah pelantang alias megafon. Lirik bagi mereka adalah kritik.


Pandemic Rage dinaungi oleh Gabriella Agelia Ayu alias Gege selaku vokalis, Latief Dwi Saputro gitaris, Faizal Rahman basis, serta David Jihad dramer. Unit hardcore yang bermarkas di Kota Gede, Yogyakarta, ini telah menancapkan sangirnya.


Salah satu lagu mereka berjudul Unjustice (Hardcore Version) merupakan ekspresi dari amarah yang mentah apa adanya. Lagu tersebut tampil sebagai kritikan yang tak muluk-muluk, mudah dimengerti, namun tetap terdengar militan.


Kacang lupa kulit, setelah jadi pemenang/Janji omong kosong, lalu terlupakan/Kau menindas, tanpa perasaan/Kau mata duitan, rakyat kelaparan


"Unjustice adalah salah satu tempat kami untuk melakukan 'demo' dan bersuara," kata sang basis, Izal, di dalam jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Hardcore Bergerak.


Selain Unjustice (Hardcore Version), Pandemic Rage memiliki dua lagu lainnya, yakni Moving Wild Through, dan Hard Fucking Core. Kedua lagu ini, masing-masing berisikan kemarahan dan ungkapan kepuasan.


"Kita akan launching single ke empat.Kami memang terkonsep untuk keluarin per single karena media sekarang lebih luas enggak harus EP ataupun mungkin untuk rencana ke depannya kalau sudah keluar single sampai delapan, kami akan cetak fisik berbentuk CD," jelas Izal.


Saat ini, Pandemic Rage merasa cocok dengan formasi di mana Gege mengisi lini vokal menggantikan vokalis sebelumnya. Bergabungnya Gege juga menjadi semacam "patahan" yang mengubah spektrum band yang sebelumnya lebih dekat ke Nu Metal dan Rap Rock ke hardcore.


Gege dan Faizal sempat bareng dalam sebuah band bernama Dawnfold. Setelah memutuskan keluar dari band lamanya, Faizal berinisiatif membangun band bersama temannya, Latief.


Pandemic Rage digagas pada 2020, dalam situasi saat dunia masih dicengkeram momok virus Covid-19. Setelah mengajak seorang teman lama bernama, David, selaku orang yang akan mengisi dram, Izal dan Latief pun menggandeng seorang raper lokal bernama Malik.


Dengan formasi ini, Pandemic Rage berhasil menetaskan lima single. Namun, lagu-lagu mereka saat itu, diakui oleh Faizal, kurang mendapat tempat karena dirasa masih memiliki kekurangan.


"Lagu-lagu kami terdengar setengah matang, energinya tak sampai," ungkap Faizal.


Dengan Pandemic Rage, Faizal cs merasa istikamah dengan genre yang sedang mereka tekuni saat ini. Mereka berusaha untuk tidak terjebak dalam subgenre hardcore tertentu karena ingin energi yang akan mereka ledakkan jauh lebih bebas.


"Hardcore bukan sekadar genre, tetapi juga sarana untuk bersenang-senang, bersuara, menyampaikan kritik, dan menyalurkan bakat. Hardcore adalah tempat kami membentuk sebuah keluarga, relasi, dan juga alur hidup yang kita pilih," pungkas Faizal.[]

Ilustrasi dibuat dengan Canva LIMA BELAS Agustus 2025 menandai dua dekade ditandatanganinya nota kesepahaman antara perwakilan Gerakan Aceh...

Ilustrasi dibuat dengan Canva


LIMA BELAS Agustus 2025 menandai dua dekade ditandatanganinya nota kesepahaman antara perwakilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia, sebagai inisiatif untuk mengakhiri konflik Aceh secara menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat. Namun, nota yang dikenal sebagai MoU Helsinki ini lahir dengan tumbal, di mana ia merupakan buah yang dipetik dari pohon yang pupuknya terbuat dari darah, tulang-belulang, dan air mata. 


Sewaktu Serambi Makkah dikoyak-moyak oleh konflik bersenjata, beragam operasi militer ditetaskan oleh Pemerintah Indonesia demi merepresi ruang gerak dan kekuatan gerilya pejuang kemerdekaan Aceh. Kekuatan militer berton-ton beratnya diturunkan sejak akhir 80an hingga 2003, membenamkan provinsi paling utara kepulauan Sumatera ke dalam mimpi buruk selama belasan tahun. 


Di satu sisi, Aceh memang punya sejarah sebagai daerah "spiral" kekerasan dengan segmen "peperangan" yang berkesinambungan. Jika dapat ditamsilkan, Aceh tak ubahnya kapal tua yang dikepung gelombang besar, terombang-ambing ke dalam perang tak berkesudahan tanpa ada tempat berlabuh lebih dari satu abad. 


Lepas dari rongrongan kolonialis Belanda, masuk ke jebakan fasisme Jepang, lalu didera perang saudara yang menyeret kaum ulama versus hulubalang. Nuansa kekerasan masa lalu belumlah hilang, menyusul pula pemberontakan DI/TII yang juga membelah sebagian masyarakat ke dalam grup republiken dan ulama, sebelum badai kekerasan 65 datang dan meletus untuk pertama kali di Aceh, mendahului banyak daerah lainnya di Indonesia. 


Siklus kekerasan ini tak berhenti. Ia berlanjut dengan dicetuskannya deklarasi kemerdekaan Aceh dari Republik Indonesia oleh Hasan Tiro yang didengungkan dari balik kabut bukit Halimun, yang menyeret Aceh ke ladang pembantaian yang lain. 


Laporan KKR Aceh dalam bentuk buku Peulara Damèe: Merawat Perdamaian (2023), menyatakan, setidaknya 8.029 orang menjadi korban pelanggaran HAM di Aceh, terdiri dari 848 perempuan dan 7.181 laki-laki. Sebanyak 1776 orang laki-laki dan 144 perempuan menjadi korban kejahatan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang. Sementara itu, sebanyak 1085 laki-laki dan 38 perempuan menjadi korban pembunuhan tidak sah serta bertentangan dengan hukum. 


Temuan yang sama mengungkap sebanyak 3021 laki-laki dan 327 perempuan jadi korban tindak penyiksaan, 87 laki-laki dan 78 perempuan korban kejahatan kekerasan seksual dan perkosaan, 359 laki-laki dan 10 perempuan korban penghilangan paksa, 863 laki-laki dan 251 perempuan korban perusakan dan perampasan harta benda. 


Kekerasan seksual yang menimpa perempuan dalam situasi seperti yang pernah dirasakan oleh Aceh adalah teror yang disengaja sebagai metode penundukan seksualitas. Rahim perempuan dilihat tak cuma sebagai pusat dari reproduksi biologis, tetapi juga sosial, politik, dan bangsa. Hidup mati sebuah keluarga, kelompok, etnis, serta bangsa tergantung dari proses reproduksi perempuan. Dikarenakan keyakinan yang psikotik inilah, di dalam konflik perempuan menjadi target. 


Adapun pelaku kekerasan yang berhasil diidentifikasi berdasarkan institusinya terdiri dari TNI sebanyak 7645 kasus, polisi 1524 kasus, SGI dan unit lain 165 kasus, aparatus negara lainnya 33, dan milisi pro-Indonesia 14 kasus. Di dalam laporan yang sama digarisbawahi bahwa kalangan GAM juga bertanggung jawab atas 392 kasus kekerasan selama konflik di Aceh sementara sebanyak 776 kasus lagi dinyatakan belum dapat diidentifikasi siapa pelakunya. 


Militer kiriman Indonesia selama periodik kekerasan itu membunuh dengan cara paling kejam yang dapat dibayangkan oleh manusia. Aceh tak ubahnya rumah jagal, pos-pos tentara menjadi seperti sarang penyamun, tempat istri dan para anak perempuan disiksa, diperkosa, serta dinistakan sebagai manusia. Pun sama dengan yang menimpa para laki-laki Aceh. Jeritan mereka tak terdengar, bukan karena tak mampu berteriak. Hanya saja, mulut mereka disumpal dengan laras senapan. Atas nama negara serta kebhinekatunggalikaan.


Eskalasi kekerasan mereda seiring terjadi tragedi bencana alam berupa gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004. Sejak saat itu, Aceh secara tertatih mencoba bangkit dengan luka yang tetap menganga karena trauma konflik ternyata jauh lebih dalam torehannya ketimbang luka yang diakibatkan karena bencana, semacam pergulatan antara penerimaan takdir dan rasa kehilangan yang disertai dendam. 


Namun, beberapa tahun lalu, pemerintahan Jokowi mencetuskan program penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM yang berat atau PPHAM. Program ini ditandai dengan Keppres No. 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) yang Berat Masa Lalu, sebagai upaya pemulihan korban pelanggaran HAM dari 12 kasus di Indonesia, tiga di antaranya di Aceh. 


Peluncuran program ini secara resmi ditandai dengan "kick off" pada Juni 2023 silam di halaman Rumoh Geudong, selaku salah satu situs kekerasan masa lalu, yang notabene warisan militer Indonesia. Namun, program ini pada dasarnya hanyalah proyek manipulatif yang lagi-lagi hanya akan melegitimasi kekerasan masa lalu serta mempertahankan impunitas. 


Diketahui bahwa Jokowi saat itu mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 untuk menindaklanjuti program penyelesaian nonyudisial. Inpres yang keluar pada Maret 2023 itu merupakan tindaklanjut atas hasil kerja tim PPHAM, yang akan dikerjakan melalui pelaksanaan sejumlah rekomendasi melalui sembilan belas kementerian/lembaga yang akan dipantau oleh tim khusus bentukan Keppres Nomor 4 tahun 2023.


Namun, rekomendasi tersebut nyatanya tak terlaksana secara menyeluruh. Apa mau dikata, tim pemantau pelaksanaan rekomendasi tadi dinyatakan habis masa kerjanya pada Desember 2023 yang berkonsekuensi tidak terealisasinya rekomendasi melalui 19 kementerian/lembaga secara utuh. 


Pada sisi lain, sebenarnya poin-poin rekomendasi yang digadang-gadang sebagai upaya negara untuk memenuhi hak korban atau ahli warisnya dan korban terdampak dari peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, ini tak luput dari masalah. Selain bantuan yang diberikan tak sebanding dengan penderitaan yang dialami —mengutip KontraS— korban dan keluarganya terkesan tidak dilibatkan secara menyeluruh dan bermakna dalam menentukan atau setidaknya memberi masukan secara lebih jujur atas praktik reparatif yang sebenarnya menyangkut kepentingan mereka. 


Belum lagi, karena program yang sentralistik ini dijalankan dengan berbekal hanya pada data yang tak mutakhir serta serta penjangkauan seadanya, yang hanya menjamah sebagian telah mengakibatkan sesama korban pada akhirnya saling skeptis dan terbelah. Hal paling krusial seperti pelurusan sejarah bahkan tidak pernah disinggung oleh negara melalui program ini. 


Malahan, Rumoh Geudong yang semestinya dikenang sebagai situs memorial kekerasan masa lalu, kini oleh negara bersulih menjadi living park, yang di atasnya terdapat taman bermain anak. Ini adalah refleksi visual dari moralitas bagaimana para pemimpin di negeri ini melihat pelanggaran HAM berat, yang tega membangun taman bermain di atas mana tulang-belulang manusia dikuburkan. 


Saat disorot, narasi-narasi seperti tidak perlu mengungkit masa lalu pun mulai digencarkan oleh otoritas. Padahal, kekerasan masa lalu itu dikenang sebagai ikhtiar yang di dalamnya berjalinkelindan dengan pelurusan sejarah, pengakuan, serta untuk memutus mata rantai kekerasan agar generasi kiwari atau masa depan tidak terkutuk untuk mengulangi sejarah kelam tersebut. 


Lantas, apakah momen 20 tahun perdamaian di Aceh ini patut dibanggakan atau setidaknya dirayakan? Secara waktu tentu saja, iya, namun di satu sisi yang krusial, dekade perdamaian ini sebenarnya telah kehilangan ruang. Lagi-lagi, di balik euforia yang ditunjukkan sejumlah pihak di Aceh dalam menyambut perayaan 15 Agustus ini, penting diingat bahwa euforia ini mestinya harus secara kritis menjadi ajang refleksi apakah dua dekade ini merupakan dua dekade yang berarti atau malah telah kehilangan nilainya? 


Ruang yang seharusnya milik dua dekade perdamaian itu diisi oleh prasangka, stereotipe, dan inkonsistensi. Beberapa waktu yang lalu, sebuah harian lokal menampilkan foto bertepatan ketika aparat kepolisian —berseragam korp Brigade Mobil— di Banda Aceh menyambut 17 Agustus dengan cara membagi-bagikan bendera merah putih mini kepada pengendara. Sekilas foto tersebut tampak biasa saja sampai kita sadar bahwa salah seorang polisi tampak memangku senjata api laras panjang serta mengenakan atribut taktis yang lengkap.


Muncul dalam balutan seperti itu di tengah-tengah publik yang punya trauma terhadap simbol-simbol militerisme? Apakah dua dekade perdamaian masih belum cukup? Apakah Aceh atau daerah lain yang punya rekam jejak sama akan selalu dipersangkakan sebagai daerah dengan level nasionalisme rendah sampai-sampai harus mengerahkan prajurit bersenjata lengkap hanya untuk memastikan orang-orang mau ikut serta merayakan 17-san. Perlu digarisbawahi bahwa Aceh mungkin merupakan daerah yang memiliki tingkat polusi visual dengan simbol-simbol militer yang cukup tinggi. 


Pun begitu, bicara soal realisasi MoU Helsinki, sesungguhnya masih terdapat sejumlah poin yang belum direalisasikan sebagai bagian dari komitmen perdamaian itu sendiri. Di antaranya, terkait komisi bersama penyelesaian klaim dan pengadilan HAM untuk Aceh serta kejahatan sipil aparat militer diadili di Aceh, yang secara sinyalemen sepertinya akan berakhir utopis. 


Selanjutnya, isu penambahan batalion TNI di Aceh kembali membuat kita merenungkan kembali arti dua dekade perdamaian. Seperti yang tersebar di media massa, Kementerian Pertahanan berencana membangun enam batalion di enam kabupaten dengan nilai kontrak mencapai Rp238,2 miliar —belakangan tersisa lima karena salah satu lokasi dibatalkan.


Pangdam IM l, Mayor Jenderal TNI Niko Fahrizal mengatakan bahwa pembangunan batalion tersebut merupakan langkah strategis dalam memperkuat pertahanan wilayah sekaligus mendekatkan TNI kepada masyarakat. Pernyataan ini tentu saja tidak tepat dan terkesan dipaksakan jika tidak disebut dibuat-buat atau bahkan nyeleneh. 


Padahal, MoU Helsinki sendiri jelas-jelas membatasi jumlah personel militer dan kepolisian organik di Aceh. Hal ini dapat ditelusuri di poin 4 dalam nota tersebut yang menyatakan bahwa jumlah dari tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang —adapun jumlah kekuatan polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang. 


Untuk keseluruhan tentara organik di Aceh saja saat ini saja patut diragukan jumlahnya berapa, ini malah berencana membuat batalion tambahan yang sama sekali tidak memiliki dasar yang logis jika ditilik dari segi mana pun.


Hasrat untuk menambah batalion di tanah dengan trauma yang bahkan belum pulih ini menggambarkan bagaimana besarnya ego sentralistik negara yang tidak memberi kesempatan bagi rakyat Aceh untuk memilih. Padahal, negara ini menganut aturan bahwa setiap beleid yang menyangkut kepentingan daerah mesti dikonsultasikan dulu terhadap daerah yang dimaksud. 


Seakan-akan hal ini menjadi manuver rezim yang sebenarnya sedang membangkitkan dwifungsi ABRI, di mana militer mengekspansi ruang sipil bukannya mempertahankan teritorial. Hal ini didukung oleh pernyataan otoritas militer bahwa keberadaan batalion-batalion itu dilengkapi dengan kompi peternakan, pertanian, perikanan, dan kesehatan, yang notabene secara perlahan akan melucuti peran-peran masyarakat sipil —lantas, sekali lagi, quo vadis dua dekade perdamaian di Aceh?[] 



Cover album Nazar Palagan (Dok. @taring_offficial)   SATU dekade silam, Taring menghujamkan ujung saingnya tepat ke jantung Orde Baru. Sepul...

Cover album Nazar Palagan (Dok. @taring_offficial)

 
SATU dekade silam, Taring menghujamkan ujung saingnya tepat ke jantung Orde Baru. Sepuluh trek dalam lapisan enamel bertajuk Nazar Palagan dilepas "kausa tajam" untuk merabak kulit rezim —juga sebagai ultimatum kepada setiap kegelapan yang diwariskan oleh Orba saat ini.


Sewaktu merilis album Nazar Palagan, Taring masihlah formasi dengan enjin yang dijalankan oleh kekuatan seperti Hardy "Nyanknyank" Rosady (eks Outright) sebagai penggenggam gagang mikrofon, Angga Kusuma (Asia Minor, Billfold) sebagai gitaris, Ferry (Turbidity) basis, dan Gabriel "Gebeg" (Global Unity, Homogenic), selaku dramer. 


Amat disayangkan, dinamika terjadi, saat ini yang menjaga agar nyala "agung" api perlawanan dari kuartet hardcore yang cikal bakalnya telah dipecut sejak 2007 itu, hanya tersisa Hardy dan Gebeg, sang vokalis dan sang dramer. Namun, mesin uap perlawanan harus tetap mengepul, bukan?


Dengan kekuatan yang tersisa, memanggul legasi perlawanan dari era "Nazar Palagan", Taring nyatanya tetap berdiri di depan pagar betis barisan kavaleri tiranis, menyongsong perlawanan, menunjuk moncong status quo, melalui LP ketiga. Di dalamnya, spirit sang aktivis cum penyair Widji Thukul belumlah hilang.


Bom molotov tersebut diberi judul Megatruth, merupakan sebuah album penuh yang telah dipersiapkan jauh hari. Penggarapn album yang direkam di Chronic Rock Studio dan Funhouse Studio ini pada dasarnya turut diampu oleh tangan dingin Ebenz Burgerkill, di mana estafet penggarapan kelak diteruskan oleh bantuan Agung Ridho Widhiatmoko alias Agung Hellfrog yang juga personel Burgerkill sejak Ebenz tiada.


Dalam wawancaranya dengan sebuah situs harian musik daring, Aries "Ebenz" Tanto berperan sebagai produser sekaligus orang yang memastikan pukulan-pukulan dram Gebeg sesuai dengan konkretisasi warna album baru mereka terutama sewaktu proses rekaman berlangsung. Hal ini dikarenakan pengisian dram direkam secara langsung melalui mikrofon yang dilanjutkan ke mixer.


Sementara itu, Agung Hellfrog berperan dalam memberi masukan baik di segi riff maupun struktur lagu-lagu di dalam Megatruth. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa album Taring kali kali ini adalah buah dari kedisiplinan, eksplorasi, dengan hasil akhir yang terbilang sangat memuaskan terutama bagi Taring sendiri.


Sebelum album ketiga, Orkestrasi Kontra Senyap menjadi penengah di antara Nazar Palagan dan Megatruth. Taring juga melepas sejumlah single seperti Kekal Menjalang pada 2015, Konfrontasi tanpa Solusi di tahun yang sama, serta Slaptika, pada 2018, yang turut serta menggandeng Doddy Hamson, vokalis dengan warna suara yang berat lagi serak asal Komunal.


Terlepas dari semua itu, di bawah bendera Grimloc Records, Nazar Palagan merupakan sesuatu yang liyan, anomalistis di ruang hardcore yang saat itu terbilang pakemistis. Taring menjadi spektrum di mana varian seperti thrash, grind, doom, stoner, melebur dan menggila —dan yang terpenting dari semua itu, Taring berdiri di atas prinsip bahwa musik adalah jalan terjal perlawanan, di mana "lirik adalah senjata", seturut lagu mereka berjudul Kata-Kata belum Binasa.


Blackspot Cafe Bandung hari itu menjadi saksi dirilisnya Nazar Palagan, yang secara materi digodok dalam waktu total enam bulan. Hardy, vokalis Taring waktu itu terang-terangan mendaku diri sebagai "pengagum" Widji Thukul, sosok yang menjadi inspirator dan spirit bagi album tersebut.


Sebagaimana diketahui, Widji Thukul dikenal sepak terjangnya sebagai duri bagi rezim Orba di mana Soeharto selaku pengenggam tongkat purbawisesa. Puisi-puisi dan orasinya terlahir dari amarah yang jujur, menohok tajam ke jantung Orba, menjadikannya target, hingga akhirnya ia hilang ditelan kabut dingin Orba pada Februari 1998.


Hardy tak main-main. Ia mencoba mengenggam bara api yang sama yang pernah digenggam oleh Widji Thukul melalui Meredam Dendam dengan Bara. 


Setiap kata kurakit senjata, Bermula di tenggorokan/awal stimulan lisan, agar makna lugas kumuntahkan

Gelap malam, tercekik dalam diam bertahan di setiap harapan

Dalam malam, bersemayam sumpah serapah tetap liar walau dianggap sampah

Untukku kita dan mereka yang selalu bersuara

Untukku api akan selalu menyala

Untukmu kita bersama dalam kepalan

Dan kita akan bernafas dalam bara


Nazar Palagan tak hanya bernyanyi, album ini mengepal. Tentu saja dengan tangan kiri, menuding ke pintu istana dari balik pagar dengan amarah meski tanpa sumpah serampu.Sebagaimana mereka menghormati dan menjaga warisan Widji Thukul: 


Apabila usul ditolak tanpa ditimbang/Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan/Dituduh subversif dan mengganggu keamanana/Maka hanya ada satu kata


Lawan


Nazar Palagan tentu tak akan dimakan waktu. Apalagi saat ini!


Dua puluh April 2024, sebuah perjamuan bertajuk A Decade of Resilience untuk menandai satu dekade Nazar Palagan pun digelar di Institut Français, jalan Purnawirawan 32, Bandung. Selain diisi dengan penampilan Agung Hellfrog, Lord Butche, dan Baruz, juga terdapat Taruk dan Iron Voltage ikut mewarnai kenduri tersebut.[] 


No Remain menantang maskulinitas dan machoisme (Dok. No Remain) SETELAH menandai resurjensi mereka dengan meluncurkan EP pada November tahu...

No Remain menantang maskulinitas dan machoisme (Dok. No Remain)

SETELAH menandai resurjensi mereka dengan meluncurkan EP pada November tahun lalu, kali ini No Remain kembali ke permukaan skena dengan ambisi katarsisme yang meluap-luap. Band satu ini ingin segera berada di puncak ketegangan, lalu meledakkan amarah hingga sirna tak bersisa.


Kebangkitas dari Hiatus No Remain ditandai dengan EP berjudul Reminiscene, berkaliber 13 menit dengan total lima lagu yakni, Intro, Fraud, You vs You, Genocide, dan Still Remain. No Remain mendeskripsikan album mini ini sebagai pengalaman di atas permadani sonik yang dijahit dari luka, penyesalan dan kemenangan.


"EP ini menjadi sebuah epic comeback kami setelah hiatus cukup lama," kata Lancaster, sang basis No Remain dalam wawancaranya kepada hardcorebergerak.id.


Tak berhenti sampai di situ, No Remain kembali menegaskan eksistensinya dengan sebuah single berjudul Cognitive Dissonance Prevails yang dirilis pada Januari 2025. Single ini menandai peralihan karakter vokalis dari yang lama ke baru.


Gagang mikrofon saat ini dipercayakan kepada Latisha. Sementara itu, Adit Blak dan Anda menjadi dua sayap penjaga distorsi, Lancaster pembetot bas, dan terakhir, Tandu penggebuk dram.


No Remain yanh berbasis di Pamulang, Tangerang Selatan mulai dibentuk sejak 2009. Kuintet hardcore satu ini sudah lima kali rombak-rambik formasi.


Band ini mengusung nilai-nilai perlawanan yang cukup kuat di dalam lirik lagu mereka. Mulai dari kritik terhadap sistem hingga rasa muak atas fenomena di mana masyarakat menjadi hakim atas orang lain.


Hal ini dapat didengar melalui single Cognitive Dissonance Prevails. Lirik lagu ini menggambarkan bagaimana kaum hipokrit bahkan jika mungkin demagog, bekerja —di mana seseorang yang paling munafik malah menjadi orang yang paling vokal.


It’s always the ones with dirty hands, pointing finger/And they multiply, with every lie, they justify


"Kami muak dengan mereka yang sok suci, yang paling keras bersuara tapi paling kosong hatinya. Dan yang jelas, No Remain tidak berdiri di pihak pelaku genosida. Kami menolak kekerasan sistemik, pembantaian massal, dan penghapusan identitas atas nama kekuasaan. Diam adalah bagian dari kejahatan, dan kami menolak diam!" cetus Lancaster.


Sikap ideologis No Remain bahkan dapat dilihat dari keputusan Lancaster dan kawan-kawan yang sengaja menaruh Latisha di garis depan. Ini bisa diintepretasikan sebagai manifesto perlawanan terhadap kooptasi ruang oleh maskulinitas dan machoisme.


"Vokalis perempuan bukan untuk pemanis, bukan gimik, tetapi karena ia punya suara yang ingin disuarakan, amarah yang sah untuk disalurkan, dan cerita yang layak didengar. Di ruang yang sering terlalu maskulin dan penuh stigma, kehadirannya adalah bentuk perlawanan itu sendiri," tegas Lancaster.[]

Polahi, unit hardcore asal Gorontalo (Dok. Polahi) MEMAKAI nama suku terasing di Gorontalo, band satu ini patut mendapat penghormatan atas ...

Polahi, unit hardcore asal Gorontalo (Dok. Polahi)

MEMAKAI nama suku terasing di Gorontalo, band satu ini patut mendapat penghormatan atas dedikasi serta konsistensi dalam skena musik bawah tanah. Eksistensi kuartet yang dibentuk sejak 2009 ini dibuktikan dengan adanya tiga album penuh dalam bentuk fisik yang mulai dijajal pada 2012.


Jenama band yang dinaungi oleh Rengga cs ini adalah Polahi. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Polahi merupakan nama suku terasing —marginal— yang saat ini menempati sejumlah wilayah di pedalaman hutan Gorontalo. 


"Kami pakai nama itu sebagai simbol resistansi, untuk selalu jujur, liar, dan tidak tunduk terhadap norma-norma yang membatasi kami dalam berekspresi," jelas Rengga, sang vokalis Polahi kepada Hardcore Bergerak.


Lazimnya dinamika sebuah band, Polahi sempat beberapa kali merombak formasi. Saat ini, band yang mengusung genre metalic hardcore ini diisi oleh Rengga sebagai vokalis sekaligus gitar —rythm, Alby sebagai gitaris, Nenza sebagai basis, dan Wahyu sebagai dramer.


"Awal terbentuk dari pertemanan saya dengan almarhum Iswan (dramer) yang sepakat untuk membentuk band karena interes yang sama terhadap hardcore. Kemudian saya mengajak teman lama saya, Nicky sebagai vokalis, sementara itu, Iswan mengajak temannya, Moko, sebagai basis," tutur Rengga.


Polahi merupakan band dengan spektrum influen seperti Strife, Biohazard, dan Hatebreed. Untuk Hatebreed sendiri, Polahi banyak mengambil insiprasi dari dua album awal yakni Satisfaction dan Perseverance


Menurut Rengga, lirik lagu-lagu Polahi tidak pernah bisa dilepaskan dari iklim sosio-politik karena para personelnya memiliki latar belakang "punk" yang kuat. Namun, Polahi juga memiliki lirik lagu nonserius yang ditulis hanya untuk bersenang-senang.


Salah satu lagu Polahi merupakan representasi dari spirit para pejuang yang menolak tunduk umtuk dijajah dan lebih memilih hidup merdeka. Judulnya Warrior.


We are the warrior of the freedom life/Like a fire that rip into the night/Fight with blood and honor to survive/Have no fear because we are the warrior


"Kita semua senantiasa harus hidup dalam kebebasan, bebas mengendalikan hidupnya, membuat keputusan sendiri, dan menjalani hidup sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan yang diinginkan, tanpa terbelenggu oleh tekanan dari luar," Rengga menjelaskan makna di balik lagu Warrior.


Adapun tiga album fisik yang telah dirilis oleh Polahi yaitu, We Are The Warrior (2012), Petarung Sejati (2019), dan Primitive (2021). Selain itu, terdapat juga sejumlah single —terbaru yakni Doti, yang dirilis via label rekaman asal Manado bernama No Match Record. 


"Kebetulan sekarang sedang dalam proses produksi album ke empat," ungkap Rengga.


Menurut Rengga, merupakan medium di mana pertemanan, loyalitas, dan semangat hidup berjalinkelindan. Klise, tetapi begitulah adanya.


"Bisa dilihat sewaktu nonton live musik hardcore, energi dan kebersamaannya kuat," pungkas Rengga.[]

Unit hardcore asal Jawa Tengah bernama Fightstar membawa nilai-nilai kolektif berbalut komedi (dok. Fightstar)     DI BALIK namanya yang te...

Unit hardcore asal Jawa Tengah bernama Fightstar membawa nilai-nilai kolektif berbalut komedi (dok. Fightstar) 

 

DI BALIK namanya yang terdengar serius, sekelompok anak muda asal Jawa Tengah ini ternyata lebih suka mengintrodusir band mereka sebagai band penebar tawa canda. Mereka merupakan kuintet yang berani membawa hardcore ke universum lain.

Adalah Adhi Harder, Reigha, Abah Boen, Anoe, dan Dony, yang mendaku-daku berasal dari kelas pekerja dengan niatan membawa kebahagiaan ke arena mosh pit. Adapun kendaraan yang mereka gunakan untuk mewujudkan hal tersebut bernama Fightstar.

Fightstar lahir di Cilacap pada 2024. Band ini memiliki sejumlah nama besar sebagai influen seperti Sunami, Seed Of Pain, dan Trapped Under Ice. 

"Tentu saja menjadi keinginan utama kami untuk memberi warna di skena dan membawa pesan-pesan positif dengan gaya komedi yang penuh kehangatan persaudaraan ngapakers," jelas Anoe, sang basis Fightstar, dalam wawancaranya dengan hardcorebergerak.id.

Namun, di balik citra komedi tersebut, Fightstar sebenarnya mengedepankan nilai-nilai loyalitas kolektif. Bagi mereka, mosh pit tak sekadar lantai, tetapi juga rumah di mana fraternitas (persaudaraan) dilahirkan.

Dua single mereka menjadi saksi. Loyalty is our respect dan Mosh in Pit

"Loyalty is our respect menggambarkan respek kami terhadap semangat kawan-kawan yang sudah berkenan hadir di gigs demi kebersamaan. Sementara itu, Mosh in pit mengingatkan bagaimana kita hadir di tengah mosh pit untuk bersenang-senang bersama," kata Anoe.

Fightstar tidak main-main; mereka serius. Sebentar lagi, tur akan segera digelar di sejumlah kota bertepatan dengan peluncuran EP serta penggalasan (merch) band tersebut.

"Sebentar lagi rilis EP plus merch dan tur di tujuh kota. Yakni, Banyumas,Tasikmalaya, Bandung, Tegal Magelang,Sidoarjo, dan Cilacap, he-he-he," sebut Anoe, memungkasi.[]


Unit hardcore asal Malang lepas demo bertajuk Stand Here (Dok. Noosehold) PERTEMANAN yang toksik menjadi salah satu tema yang melatari penc...

Unit hardcore asal Malang lepas demo bertajuk Stand Here (Dok. Noosehold)


PERTEMANAN yang toksik menjadi salah satu tema yang melatari penciptaan lagu dari kuartet hardcore punk yang berbasis di kota Malang ini. Mereka berjenama Noosehold, sebuah kelompok yang memilih untuk bertahan di reruntuhan kepercayaan yang dikhianati.

Baru-baru ini Noosehold memuntahkan demo pertama bertajuk Stand Here, sebuah maklumat kepada setiap persahahatan yang penuh kepura-puraan. Demo berisi dua lagu tersebut mengusung judul yang tampak simpleks dan klise, yaitu Still Stand dan Still Here, tetapi dibekali dengan amarah "punk" yang meluap-luap.

"Demo ini menyuarakan pergulatan batin seseorang yang pernah dikhianati dalam pertemanan, dibiarkan jatuh, tetapi menolak untuk hancur," kata Faisal, sang penjaga stan mikrofon Noosehold kepada hardcorebergerak.id.

Noosehold dibentuk pada 2024, nama Noosehold memiliki arti "jeratan yang mencengkeram". Formasinya diisi oleh Faisal selaku vokalis, Bagus gitaris, Febian basis, dan terakhir Dino, sebagai dramer.

"Kami memilih nama Noosehold sebagai bentuk perlawananan terhadap tekanan yang kami alami dalam kehidupan sehari-hari," imbuh Faisal.

Sebagaimana diketahui, Noosehold merupakan unit hardcore dan hidup di skena bawah tanah. Hardcore sendiri bagi Noosehold melampaui spektrumnya sebagai sebuah genre.

"Bagi kami, hardcore juga jadi tempat melampiaskan amarah dengan cara positif tanpa merugikan orang lain. Hardcore adalah wadah di mana kami saling menguatkan, saling menjaga, saling bertukar cerita dan pengalaman," kata Faisal.

Noosehold bakal merilis single yang akan menjadi penghubung untuk EP mereka kelak. Adapun hajatan terbesar mereka saat ini ialah tur di tahun ini —semoga tercapai.[]