 |
Ilustrasi dibuat dengan Canva |
LIMA BELAS Agustus 2025 menandai dua dekade ditandatanganinya nota kesepahaman antara perwakilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia, sebagai inisiatif untuk mengakhiri konflik Aceh secara menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat. Namun, nota yang dikenal sebagai MoU Helsinki ini lahir dengan tumbal, di mana ia merupakan buah yang dipetik dari pohon yang pupuknya terbuat dari darah, tulang-belulang, dan air mata.
Sewaktu Serambi Makkah dikoyak-moyak oleh konflik bersenjata, beragam operasi militer ditetaskan oleh Pemerintah Indonesia demi merepresi ruang gerak dan kekuatan gerilya pejuang kemerdekaan Aceh. Kekuatan militer berton-ton beratnya diturunkan sejak akhir 80an hingga 2003, membenamkan provinsi paling utara kepulauan Sumatera ke dalam mimpi buruk selama belasan tahun.
Di satu sisi, Aceh memang punya sejarah sebagai daerah "spiral" kekerasan dengan segmen "peperangan" yang berkesinambungan. Jika dapat ditamsilkan, Aceh tak ubahnya kapal tua yang dikepung gelombang besar, terombang-ambing ke dalam perang tak berkesudahan tanpa ada tempat berlabuh lebih dari satu abad.
Lepas dari rongrongan kolonialis Belanda, masuk ke jebakan fasisme Jepang, lalu didera perang saudara yang menyeret kaum ulama versus hulubalang. Nuansa kekerasan masa lalu belumlah hilang, menyusul pula pemberontakan DI/TII yang juga membelah sebagian masyarakat ke dalam grup republiken dan ulama, sebelum badai kekerasan 65 datang dan meletus untuk pertama kali di Aceh, mendahului banyak daerah lainnya di Indonesia.
Siklus kekerasan ini tak berhenti. Ia berlanjut dengan dicetuskannya deklarasi kemerdekaan Aceh dari Republik Indonesia oleh Hasan Tiro yang didengungkan dari balik kabut bukit Halimun, yang menyeret Aceh ke ladang pembantaian yang lain.
Laporan KKR Aceh dalam bentuk buku Peulara Damèe: Merawat Perdamaian (2023), menyatakan, setidaknya 8.029 orang menjadi korban pelanggaran HAM di Aceh, terdiri dari 848 perempuan dan 7.181 laki-laki. Sebanyak 1776 orang laki-laki dan 144 perempuan menjadi korban kejahatan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang. Sementara itu, sebanyak 1085 laki-laki dan 38 perempuan menjadi korban pembunuhan tidak sah serta bertentangan dengan hukum.
Temuan yang sama mengungkap sebanyak 3021 laki-laki dan 327 perempuan jadi korban tindak penyiksaan, 87 laki-laki dan 78 perempuan korban kejahatan kekerasan seksual dan perkosaan, 359 laki-laki dan 10 perempuan korban penghilangan paksa, 863 laki-laki dan 251 perempuan korban perusakan dan perampasan harta benda.
Kekerasan seksual yang menimpa perempuan dalam situasi seperti yang pernah dirasakan oleh Aceh adalah teror yang disengaja sebagai metode penundukan seksualitas. Rahim perempuan dilihat tak cuma sebagai pusat dari reproduksi biologis, tetapi juga sosial, politik, dan bangsa. Hidup mati sebuah keluarga, kelompok, etnis, serta bangsa tergantung dari proses reproduksi perempuan. Dikarenakan keyakinan yang psikotik inilah, di dalam konflik perempuan menjadi target.
Adapun pelaku kekerasan yang berhasil diidentifikasi berdasarkan institusinya terdiri dari TNI sebanyak 7645 kasus, polisi 1524 kasus, SGI dan unit lain 165 kasus, aparatus negara lainnya 33, dan milisi pro-Indonesia 14 kasus. Di dalam laporan yang sama digarisbawahi bahwa kalangan GAM juga bertanggung jawab atas 392 kasus kekerasan selama konflik di Aceh sementara sebanyak 776 kasus lagi dinyatakan belum dapat diidentifikasi siapa pelakunya.
Militer kiriman Indonesia selama periodik kekerasan itu membunuh dengan cara paling kejam yang dapat dibayangkan oleh manusia. Aceh tak ubahnya rumah jagal, pos-pos tentara menjadi seperti sarang penyamun, tempat istri dan para anak perempuan disiksa, diperkosa, serta dinistakan sebagai manusia. Pun sama dengan yang menimpa para laki-laki Aceh. Jeritan mereka tak terdengar, bukan karena tak mampu berteriak. Hanya saja, mulut mereka disumpal dengan laras senapan. Atas nama negara serta kebhinekatunggalikaan.
Eskalasi kekerasan mereda seiring terjadi tragedi bencana alam berupa gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004. Sejak saat itu, Aceh secara tertatih mencoba bangkit dengan luka yang tetap menganga karena trauma konflik ternyata jauh lebih dalam torehannya ketimbang luka yang diakibatkan karena bencana, semacam pergulatan antara penerimaan takdir dan rasa kehilangan yang disertai dendam.
Namun, beberapa tahun lalu, pemerintahan Jokowi mencetuskan program penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM yang berat atau PPHAM. Program ini ditandai dengan Keppres No. 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) yang Berat Masa Lalu, sebagai upaya pemulihan korban pelanggaran HAM dari 12 kasus di Indonesia, tiga di antaranya di Aceh.
Peluncuran program ini secara resmi ditandai dengan "kick off" pada Juni 2023 silam di halaman Rumoh Geudong, selaku salah satu situs kekerasan masa lalu, yang notabene warisan militer Indonesia. Namun, program ini pada dasarnya hanyalah proyek manipulatif yang lagi-lagi hanya akan melegitimasi kekerasan masa lalu serta mempertahankan impunitas.
Diketahui bahwa Jokowi saat itu mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 untuk menindaklanjuti program penyelesaian nonyudisial. Inpres yang keluar pada Maret 2023 itu merupakan tindaklanjut atas hasil kerja tim PPHAM, yang akan dikerjakan melalui pelaksanaan sejumlah rekomendasi melalui sembilan belas kementerian/lembaga yang akan dipantau oleh tim khusus bentukan Keppres Nomor 4 tahun 2023.
Namun, rekomendasi tersebut nyatanya tak terlaksana secara menyeluruh. Apa mau dikata, tim pemantau pelaksanaan rekomendasi tadi dinyatakan habis masa kerjanya pada Desember 2023 yang berkonsekuensi tidak terealisasinya rekomendasi melalui 19 kementerian/lembaga secara utuh.
Pada sisi lain, sebenarnya poin-poin rekomendasi yang digadang-gadang sebagai upaya negara untuk memenuhi hak korban atau ahli warisnya dan korban terdampak dari peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, ini tak luput dari masalah. Selain bantuan yang diberikan tak sebanding dengan penderitaan yang dialami —mengutip KontraS— korban dan keluarganya terkesan tidak dilibatkan secara menyeluruh dan bermakna dalam menentukan atau setidaknya memberi masukan secara lebih jujur atas praktik reparatif yang sebenarnya menyangkut kepentingan mereka.
Belum lagi, karena program yang sentralistik ini dijalankan dengan berbekal hanya pada data yang tak mutakhir serta serta penjangkauan seadanya, yang hanya menjamah sebagian telah mengakibatkan sesama korban pada akhirnya saling skeptis dan terbelah. Hal paling krusial seperti pelurusan sejarah bahkan tidak pernah disinggung oleh negara melalui program ini.
Malahan, Rumoh Geudong yang semestinya dikenang sebagai situs memorial kekerasan masa lalu, kini oleh negara bersulih menjadi living park, yang di atasnya terdapat taman bermain anak. Ini adalah refleksi visual dari moralitas bagaimana para pemimpin di negeri ini melihat pelanggaran HAM berat, yang tega membangun taman bermain di atas mana tulang-belulang manusia dikuburkan.
Saat disorot, narasi-narasi seperti tidak perlu mengungkit masa lalu pun mulai digencarkan oleh otoritas. Padahal, kekerasan masa lalu itu dikenang sebagai ikhtiar yang di dalamnya berjalinkelindan dengan pelurusan sejarah, pengakuan, serta untuk memutus mata rantai kekerasan agar generasi kiwari atau masa depan tidak terkutuk untuk mengulangi sejarah kelam tersebut.
Lantas, apakah momen 20 tahun perdamaian di Aceh ini patut dibanggakan atau setidaknya dirayakan? Secara waktu tentu saja, iya, namun di satu sisi yang krusial, dekade perdamaian ini sebenarnya telah kehilangan ruang. Lagi-lagi, di balik euforia yang ditunjukkan sejumlah pihak di Aceh dalam menyambut perayaan 15 Agustus ini, penting diingat bahwa euforia ini mestinya harus secara kritis menjadi ajang refleksi apakah dua dekade ini merupakan dua dekade yang berarti atau malah telah kehilangan nilainya?
Ruang yang seharusnya milik dua dekade perdamaian itu diisi oleh prasangka, stereotipe, dan inkonsistensi. Beberapa waktu yang lalu, sebuah harian lokal menampilkan foto bertepatan ketika aparat kepolisian —berseragam korp Brigade Mobil— di Banda Aceh menyambut 17 Agustus dengan cara membagi-bagikan bendera merah putih mini kepada pengendara. Sekilas foto tersebut tampak biasa saja sampai kita sadar bahwa salah seorang polisi tampak memangku senjata api laras panjang serta mengenakan atribut taktis yang lengkap.
Muncul dalam balutan seperti itu di tengah-tengah publik yang punya trauma terhadap simbol-simbol militerisme? Apakah dua dekade perdamaian masih belum cukup? Apakah Aceh atau daerah lain yang punya rekam jejak sama akan selalu dipersangkakan sebagai daerah dengan level nasionalisme rendah sampai-sampai harus mengerahkan prajurit bersenjata lengkap hanya untuk memastikan orang-orang mau ikut serta merayakan 17-san. Perlu digarisbawahi bahwa Aceh mungkin merupakan daerah yang memiliki tingkat polusi visual dengan simbol-simbol militer yang cukup tinggi.
Pun begitu, bicara soal realisasi MoU Helsinki, sesungguhnya masih terdapat sejumlah poin yang belum direalisasikan sebagai bagian dari komitmen perdamaian itu sendiri. Di antaranya, terkait komisi bersama penyelesaian klaim dan pengadilan HAM untuk Aceh serta kejahatan sipil aparat militer diadili di Aceh, yang secara sinyalemen sepertinya akan berakhir utopis.
Selanjutnya, isu penambahan batalion TNI di Aceh kembali membuat kita merenungkan kembali arti dua dekade perdamaian. Seperti yang tersebar di media massa, Kementerian Pertahanan berencana membangun enam batalion di enam kabupaten dengan nilai kontrak mencapai Rp238,2 miliar —belakangan tersisa lima karena salah satu lokasi dibatalkan.
Pangdam IM l, Mayor Jenderal TNI Niko Fahrizal mengatakan bahwa pembangunan batalion tersebut merupakan langkah strategis dalam memperkuat pertahanan wilayah sekaligus mendekatkan TNI kepada masyarakat. Pernyataan ini tentu saja tidak tepat dan terkesan dipaksakan jika tidak disebut dibuat-buat atau bahkan nyeleneh.
Padahal, MoU Helsinki sendiri jelas-jelas membatasi jumlah personel militer dan kepolisian organik di Aceh. Hal ini dapat ditelusuri di poin 4 dalam nota tersebut yang menyatakan bahwa jumlah dari tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang —adapun jumlah kekuatan polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang.
Untuk keseluruhan tentara organik di Aceh saja saat ini saja patut diragukan jumlahnya berapa, ini malah berencana membuat batalion tambahan yang sama sekali tidak memiliki dasar yang logis jika ditilik dari segi mana pun.
Hasrat untuk menambah batalion di tanah dengan trauma yang bahkan belum pulih ini menggambarkan bagaimana besarnya ego sentralistik negara yang tidak memberi kesempatan bagi rakyat Aceh untuk memilih. Padahal, negara ini menganut aturan bahwa setiap beleid yang menyangkut kepentingan daerah mesti dikonsultasikan dulu terhadap daerah yang dimaksud.
Seakan-akan hal ini menjadi manuver rezim yang sebenarnya sedang membangkitkan dwifungsi ABRI, di mana militer mengekspansi ruang sipil bukannya mempertahankan teritorial. Hal ini didukung oleh pernyataan otoritas militer bahwa keberadaan batalion-batalion itu dilengkapi dengan kompi peternakan, pertanian, perikanan, dan kesehatan, yang notabene secara perlahan akan melucuti peran-peran masyarakat sipil —lantas, sekali lagi, quo vadis dua dekade perdamaian di Aceh?[]